Cool Red Outer Glow Pointer

Senin, 22 Juni 2015

PSIKOLOGI INDIVIDUAL ADLER

BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Dasar Teori Psikologi Individual
Psikologi  individual memandang   manusia sebagai suatu kompensasi terhadap perasaan  infioritas  (harga  diri kurang).  Perasaan lemah  dan tidak berdaya timbul karena pengalaman hidup anak bersama orang  dewasa atau pandangan kekurangan dalam organ tubuh, Adler mempercayai bahwa prinsip fundamental  motivasi dengan kompensasi terhadap perasaan rendah  diri dapat  menjelaskan hamper seluruh perilaku  manusia.  Manusia dikuasai oleh perasaan banyak kekurangan dan tidak sempurna, oleh karena itu mereka mereaksi terhadap perasaan tidak senang  itu dengan mencari kesempurnaan, kebebasan  dan keberhasilan. Adler menyebut  keadaan itu dengan istilah-inferiority complex.
Inferiority complex atau perasaan rendah diri menurut Adler disebabkan oleh beberapa hal, meliputi:
1.      Organ fisik kurang sempurna.
2.      Anak yang sering dimanja.
3.      Anak yang sering  mendapat penolakan.
Adler juga  menyebutkan bahwa dalam kehidupan masyarakat maskulinitas merupakan symbol superioritas  dan  feminitas adalah symbol inferioritas.  Kekuatan maskulin pada pria membuat  para pira nampak superior, sedangkan feminitas pada pria membuat pria kelihatan inferioritas. Dilain pihak, maskulinitas pada wanita membuat  wanita lebih superior, dan berusaha  men-capai peran-peran pria(masculine protest).

Adler berpendapat bahwa psikologi individual adalah konsepsi perilaku situasional social. Manusia pada dasarnya bersifat social dan berusaha  mencari tempat dalam bermasyarakat, dan berusaha membangun suatu kesatuan pribadi
Perilaku individu merupakan perwujudan upaya pencapaian tujuan. Secara social individu bergerak dari keadaan inferioritas kepada keadaan superioritas, meskipun dipengaruhi oleh sikap orang tua, kondisi keluarga, tetapi pada dasarnya setiap individu memiliki diri yang kreatif dan bertanggunng jawab untuk memilih pikiran, tindakan, dan perasaannya sendiri. Selain itu, Adler juga berpendapat bahwa individu merupakan suatu organisasi diri yang konsisten. Manusia  pada hakekatnya adalah penentu dirinya sendiri, yang mampu membentuk  kepribadian dari  pengalaman-pengalaman mereka. Kepribadian terbentuk dari factor hereditas  dan lingkungan, tetapi kreativitaslah yang membuat kepribadian ini menjadi  berguna. Adler berpendapat bahwa bukan masa lalu ataupun masa depan yang mempengaruhi perilaku masa kini, tetapi yang terpenting adalah bagaimana  kita mengintepretasikan setiap situasi itu.  Manusia menciptakan kepribadiannya dan sanggup mengubah kepribadian tersebut dengan mempelajari sikap-sikap  baru. Adler percaya  bahwa  pada  akhirnya manusia  bertanggung jawab  atas  kepribadian mereka sendiri.  Daya kreatifitas manusia mampu mentransformasikan perasaan-perasaan yang tidak tepat menjadi kepedulian social maupun tujuan keberhasilan yang berpusat pada dirinya sendiri. Kemampuan tersebut  berarti  bahwa manusia bebas memilih antara  sehat secara psikologis  atau neurotisisme. (Jess Fiest dan Gregory J. Fiest, hlm 58-59).

2.2 Berjuang untuk Meraih Keberhasilan atau Superioritas

Diktum pertama teori Adlerian adalah: satu-satunya kekuatan dinamis di balik perilaku manusia adalah perjuangan menuju keberhasilan dan keunggulan. Diawal kariernya, Adler percaya bahwa agresi adalah kekuatan dinamis dibelakang semua motivasi namun, dia segera menjadi tidak puas dengan pandangan ini. Setelah menolak agresi sebagai satu-satunya kekuatan motivasi, Adler menggunakan protes maskulin, yang mengimplikasikan kehendak untuk berkuasa atau mendominasi orang lain.
Berikutnya, Adler menyebut kekuatan dinamis tunggal ini perjuangan menuju keunggulan. Namun dalam teorinya yang terakhir ini pun dia membatasi perjuangan menuju keunggulan hanya kepada orang-orang yang memperjuangkan keunggulan pribadi saja terhadap orang lain. Dari sinilah dia kemudian memperkenalkan istilah perjuangan menuju keberhasilan untuk melukiskan tindakan-tindakan manusia yang dimotivasikan oleh kepedulian sosial yang tinggi.

2.2.1 Tujuan Akhir (Final Goal)
Menurut Adler, manusia selalu berjuang menuju sebuah tujuan akhir entah keunggulan pribadi maupun keberhasilan bagi seluruh kemanusiaan. Namun, dalam kedua hal ini, tujuan akhir itu sendiri merupakan sebuah fiksionalisme dan tidak memiliki eksistensi objektif. Tujuan akhir baru memiliki makna penting jika dia sanggup menyatukan kepribadian dan menjadikan semua perilaku bisa dipahami.
Untuk memperjuangkan tujuan akhir, manusia menciptakan dan mengejar banyak tujuan pendukung beberapa subtujuan ini sering kali disadari namun, hubungan antara beberapa subtujuan dengan tujuan akhir biasanya tidak tampak.Bahkan hubungan diantara beberapa subtujuan pendukung itu sendiri jarang bisa dipahami. Namun jika dilihat dari sudut pandang tujuan akhir, semua tujuan pendukung ini akan bersesuaian satu sama lain dengan pola yang selalu konsisten dalam dirinya.

2.2.2 Daya Juang sebagai Kompensasi (Striving Force as Compensation)
Manusia berjuang menuju keunggulan atau keberhasilan sebagai alat kompensasi perasaan-perasaan inferioritas atau kelemahannya. Adler percaya kalau kelahiran manusia dengan tubuh yang kecil, lemah dan inferior merupakan sebuah “anugerah”. Kelemahan-kelemahan fisik ini membangkitkan perasaan inferioritas justru karena manusia pada hakekatnya memang memiliki sebuah kecenderungan bawaan menuju perlengkapan atau pemenuhan.
Walaupun perjuangan menuju keberhasilan bersifat bawaan, dia tetap harus dikembangkan. Pada waktu manusia lahir, kekuatan ini eksis sebagai potensi dan bukannya aktualitas, sehinga setiap pribadi harus mengaktualisasikan potensi ini dengan cara mereka sendiri. Pada usia empat atau lima tahun, anak memulai proses ini dengan menetapkan sebuah arah bagi daya juangtersebut entah keunggulan pribadi atau keberhasilan sosial. Tujuan lalu menyediakan garis penuntun bagi motivasi, membentuk perkembangan psikologisnya dan memberinya sebuah sasaran.

2.2.3 Perjuangan menuju Keunggulan Pribadi (Striving for Personal Superiority)
Beberapa orang berjuang menuju keunggulan dengan sedikit atau bahkan tidak memiliki kepedulian terhadap orang lain. Tujuannya semata-mata pribadi, dan perjuangan mereka sebagian besar dimotivasikan oleh perasaan-perasaan inferioritas pribadi yang berlebih-lebihan.

2.2.4 Perjuangan menuju Keberhasilan (Striving for Success)
Terbalik dengan mereka yang berjuang bagi pencapaian pribadi adalah orang-orang yang secara psikologis sehat, yang tindakan-tindakannya murni termotivasi oleh kepedulian social dan keberhasilan seluruh umat manusia. Individu yang sehat ini lebih memperhatikan tujuan-tujuan yang melampaui kenyamanan diri mereka, sanggup membantu orang lain tanpa menuntut atau mengharapkan pujian pribadi, dan sanggup melihat orang lain bukan sebagai musuh melainkan sebagai manusia biasa yang dengannya mereka dapat bekerja sama demi kemaslahatan social (social benefit). Keberhasilan mereka tidak dicapai dengan mengorbankan orang lain, melainkan lebih merupakan kecenderungan alamiah untuk bergerak menuju penyelesaian atau penyempurnaan.

2.3  Persepsi-Persepsi Subyektif
2.3.1 Fiksionalisme
Fiksi kita yang paling penting adalah tujuan meraih superioritas atau keberhasilan, tujuan yang kita ciptakan di awal kehidupan dan mungkin tidak dipahami dengan jelas. Tujuan akhir yang fiksional ini dan subjektif ini menuntun gaya hidup kita dan menyatukan kepribadian kita. Gagasan Adler akan fiksionlisme berasal dari buku Hans Vaihinger yang berjudul The Philosophy of “As If” (1911/1925). Vaihinger percaya bahwa fiksi adalah gagasan yang tidak mempunyai bentuk nyata, namun memengaruhi manusia sehingga seakan-akan gagasan tersebut adalah nyata. Salah satu contoh sebuah fiksi adalah “Pria lebih superior dibanding wanita”. Walaupun gagasan ini fiksi, banyak orang, baik pria maupun wanita bertindak seolah-olah hal ini nyata. Contoh kedua misalnya “Manusia mempunyai kehendak bebas yang memampukan mereka membuat pilihan-pilihan”. Sekali lagi, banyak orang berlaku seolah-olah mereka dan orang lain mempunyai kehendak bebas dan bertanggung jawab atas pilihan-pilihan mereka. Tidak ada yang bisa membuktikan bahwa kehendak bebas itu nyata, bahwa fiksi ini menuntun kehidupan sebagian besar dari kita. Manusia tidak dimotivasi oleh sesuatu yang nyata, tetapi oleh persepsi subjektif mereka tentang apa yang benar. Contoh ketiga dari fiksi adalah tentang kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Kuasa yang memberi imbalan kepada yang berbuat baik dan menghukum yang berbuat jahat. Kepercayaan seperti itu menuntun kehidupan sehari-hari jutaan manusia dan membantu pembentukan tindakan-tindakan mereka. Entah itu benar atau salah, fiksi berpengaruh kuat terhadap kehidupan manusia.
Penekanan Adler pada fiksi, konsisten dengan pendekatan teleologis tentang motivasi yang ia pegang erat. Teleology adalah penjelasan tentang perilaku dalam pengertian tujuan atau sasaran akhirnya. Ini berlawanan dengan kausalitas, yang melihat perilaku sebagai hal yang tumbuh dari sebab spesifik. Teleology biasanya memperhatikan tujuan masa depan, sedangkan kausalitas benyak berhubungan dengan pengalaman masa lalu yang dasarnya adalah kausal. Ia percaya bahwa pengalaman masa lalu memotivasi perilaku saat ini. Sebaliknya, Adler memakai pendekatan teleologis di mana manusia dimotivasi oleh persepsi mereka pada saat ini tentang masa depan. Sebagai fiksi, persepsi-persepsi ini tidak perlu disadari atau dimengerti. Namun demikian, persepsi ini memberikan tujuan pada semua tindakan manusia dan bertanggung jawab untuk pola konsisten yang berjalan disepanjang hidup mereka.

2.3.2 Kelemahan fisik
Oleh karena manusia memulai hidupnya dari kondisi yang kecil, lemah, dan inferior, maka mereka mengembangkan fisika atau sistem kepercayaan tentang bagaimana mengatasi kelemahan fisik ini dengan menjadi besar, kuat, dan superior. Akan tetapi, bahkan setelah mereka memperoleh ukuran yang besar, kekuatan, dan superioritas, mereka bersikap seolah-olah mereka masih kecil, lemah, dan inferior.
Adler (1929/1969) bersikeras bahwa semua umat manusia “dikaruniai” kelemahan anggota tubuh.  Keterbatasan fisik sedikit atau bahkan tidak berarti sama sekali bagi manusia, kecuali keterbatasan ini menstimulasi perasaan subjektif tentang inferioritas, yang befungsi sebagai dorongan menuju kesempurnaan atau keutuhan.  Beberapa orang mengganti perasaan inferior dengan bergerak menuju keadaan psikologis yang sehat dan gaya hidup yang bermanfaat, sementara yang lain melakukan kompensasi secara berlebihan dan termotivasi untuk menakklukan orang lain atau menarik diri dari orang lain.
Sejarah memberikan banyak contoh, seperti Demosthenes atau Beethoven yang mengatasi kelemahannya dan memberikan kontribusi penting dalam masyarakat. Adler sendiri lemah dan sakit-sakitan ketika ia masih kecil, dan penyakitnya ini mendorongnya untuk mengalahkan kematian dengan menjadi seseorang dokterserta mendorongnya bersaing dengan kakak laki-lakinya dan Sigmud Freud.
Adler (1929/1969) menekankan bahwa kelemahan fisik saja tidak menyebabkan seseorang menjalani gaya hidup tertentu. Kelemahan fisik hanya memberikan motivasi pada saat ini untuk meraih tujuan masa depan. Motivasi seperti ini, seperti semua aspek kepribadian, menyatu dan self-consistent.

2.4 Kesatuan dan Self-Consistency dari Kepribadian
Prinsip ketiga dari teori Adlerian adalah: Kepribadian itu menyatu dan self-consistent.
Ketika memilih istilah psikologi individual, Adler berharap untuk menekankan keyakinannya bahwa setiap orang itu unik dan tak terpisahkan. Jadi, psikologi individual menekankan pada kesatuan fundamental dari kepribadian dan gagasan bahwa perilaku yang tidak konsisten itu tidak ada. Pikiran, perasaan, dan tindakan, semuanya mengarah pada satu sasaran dan berfungsi untuk mencapai satu tujuan.  Ketika seseorang bersikap tidak teratur atau tidak bisa diprediksi, perilaku mereka memaksa orang lain menjadi defensive dan waspada terhadap tindakan yang tak terduga. Meskipun perilaku mereka kelihatan tidak konsisten, ketika dilihat dari persepktif tujuan akhir, perilaku tersebut terlihat baik. Akan tetapi, ada kemungkinan bahwa perilaku perilaku yang mereka tunjukkan merupakan usaha-usaha yang tidak disadari untuk mengecoh dan menempatkan orang lain lebih rendah dari dirinya.
Adler (1956) mengenali beberapa cara dimana keseluruhan diri manusia  berfungi dengan kesatuan dan self-consistency:
1.   Bahasa organ
Menurut Adler (1956), keseluruhan diri manusia berjuang dengan cara yang self-consistent demi satu tujuan, dan setiap tindakan serta fungsi masing-masing hanya dapat dipahami sebagai bagian dari tujuan tersebut. Gangguan terhadap satu bagian tubuh tidak bisa dilihat secara terpisah atau tersendiri karena hal ini memengaruhi keseluruhan diri seseorang. Faktanya, kelemahan suatu organ tubuh memperlihatkan arah dari tujuan seseorang, suatu kondisi yang dikenal sebagai bahasa organ (organ dialect).
2.   Kesadaran dan ketidaksadaran
Adler (1956) mendefinisikan ketidaksadaran sebagai bagian dari tujuan yang tidak dirumuskan dengan jelas atau tidak dipahami secara utuh oleh seseorang. Berdasarkan definisi ini, Adler menghidari dikatomi antara ketidaksadaran dan kesadaran, di mana ia memandangnya sebagai dua bagian yang bekerja sama dalam sistem yang menyatu. Pikiran-pikiran sadar adalah pikiran yang dipahami dan diperlakukan seseorang sebagai hal yang membantunya dalam usaha meraih keberhasilan, sedangkan pikiran-pikiran tidak sadar adalah pikiran yang tidak membantu usaha tersebut.

2.5  Minat Sosial
Adler berpendapat bahwa minat sosial adalah bagian dari hakikat manusia
dalam dalam besaran yang berbeda muncul pada tingkah laku setiap orang. Minat
sosial membuat individu mampu berjuang mengejar superioritas dengan cara yang
sehat dan tidak tersesat ke salah suai. Bahwa semua kegagalan, neurotik, psikotik,
kriminal, pemabuk, anak bermasalah, dst., menurut Adler, terjadi karena penderita
kurang memiliki minat sosial.
2.6 Gaya Hidup
          Menurut Fiest and Fiest (2010) Gaya hidup (style of life) adalah istilah yang digunakan Adler untuk menunjukkan selera hidup seseorang. Gaya hidup mencakup tujuan seseorang, konsep diri, perasaan terhadap orang lain, dan sikap terhadap dunia. Gaya hidup adalah hasil interaksi antara keturunan atau bawaan lahir, lingkungan dan daya kreatif yang dimiliki seseorang. Adler (1956) menggunakan analogi musik untuk menjelaskan istilah gaya hidup. Nada-nada yang terpisah adalah komposisi tanpa makna jika tanpa keseluruhan lagu, namun lagu memperoleh makna tambahan ketika kita mengenali gaya seorang pencipta lagu atau ekspresi sikapnya yang unik.
Gaya hidup seseorang terbentuk dengan cukup baik ketika mencapai umur empat atau lima tahun. Setelah masa tersebut, semua tindakan kita berputar disekitar gaya hidup kita yang sudah terbentuk itu. Walaupun tujuan akhir hanya satu, gaya hidup tidak perlu sempit atau kaku. Individu yang tidak sehat secara psikologis sering menjalani hidup yang tidak fleksibel yang ditandai dengan ketidakmampuan untuk memilih cara baru dalam beraksi dengan lingkungannya. Sebaliknya, orang yang sehat secara psikologis berperilaku dengan cara yang berbeda dan fleksibel dalam gaya hidup yang kompleks, selalu berkembang, dan berubah. Manusia yang sehat melihat banyak cara dalam meraih keberhasilan dan terus-menerus mencari cara untuk menciptakan pilihan-pilihan baru dalam hidup mereka. Meskipun tujuan akhir mereka tetap sama, cara mereka menghayati dan menerima tujuan hidup tersebut yang selalu berubah. Jadi, mereka bisa memilih pilihan baru dalam setiap titik kehidupan mereka.
Manusia dengan gaya hidup yang sehat dan bermanfaat secara sosial menunjukkan minat sosial mereka melalui tindakan. Mereka secara aktif berusaha mencari penyelesaian dari apa yang disebut Adler dengan tiga masalah utama dalam kehidupan-kasih, cinta secara seksual, dan pekerjaan dan mereka melakukannya dengan kerjasama, keteguhan hati, dan kerelaan untuk memberikan kontribusi demi kesejahteraan orang lain. Adler (1956) percaya bahwa manusia dengan gaya hidup yang bermanfaat secara sosial memperlihatkan bentuk kemanusiaan yang paling tinggi dalam proses evolusi dan bentuk ini sangat mungkin memenuhi dunia di masa depan.
2.7 Daya Kreatif
Adler percaya bahwa setiap orang memiliki kebebasan untuk menciptakan gaya hidupnya sendiri. Pada akhirnya, setiap orang bertanggung  jawab akan dirinya sendiri dan bagaimana mereka berperilaku. Daya Kreatif (creative power) yang mereka miliki membuat mereka mengendalikan kehidupan mereka sendiri, bertanggung jawab akan tujuan akhir mereka, menentukan cara yang mereka pakai untuk meraih tujuan tersebut, dan berperan dalam membentuk mint sosial mereka. Singkatnya, daya kreatif membuat setiap orang menjadi individu bebas. Daya kreatif adalah konsep dinamis yang menggambarkan pergerakan (movement), dan pergerakan ini adalah karakteristik hidup yang paling penting. Semua kehidupan psikis mencakup pergerakan ke tujuan dan pergerakan dengan arah (Adler, 1964).
Setiap orang menggunakan keturunan dan lingkungan sebagai bata dan palu untuk membangun kepribadian, nemun rancangan arsitekturalnya menggambarkan gaya hidup seseorang. Hal yang terpenting adalah bukan apa yang ada dalam diri seseorang, tetapi bagaimana seseorang bisa menggunakan semua hal yang ada dalam dirinya.
Kita tidak dipaksa untuk menumbuhkan minat sosial karena kita tidak mempunyai sifat bawaan yang mengharuskan kita menjadi orang baik. Sebliknya, kita tidk mempunyai sifat jahat bawaan yang membuat kita harus melepaskan sifat tersebut. kita adalah kita karena sudah memanfaatkan semua bahan-bahan yang ada dalam diri kita.
Adler (1929/1964) menggunakan analogi yang menarik, yang ia sebut sebagai “hukum ambang pintu rendah” (the law of the low doorway). Jika anda mencoba masuk melalui ambang pintu setinggi empat kaki, maka anda mempunyai dua pilihan. Pertama, anda bisa menggunakan kemampuan berpikir kreatif untuk membungkuk ketike mendekati pintu masuk sehingga masalah dapat dipecahkan dengan baik. Sebaliknya, jika anda terbentur dan terjatuh kebelakang, maka anda masih harus menyelesaikan masalah dengan benar atau anda akan terus-menerus terbentur.
2.8             Perkembangan Abnormal
Menurut Adler (1956), satu faktor yang mendasari semua jenis ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri adalah minat sosial yang tidak berkembang. Selai kurangnya minat sosial, orang-orang neurotik cenderung untuk (1) menetapkan tujuan yang terlaku tinggi, (2) hidup dalam dunianya sendiri dan (3) mempunyai gaya hidup yang kaku dan dogmatis. Ketiga karakteristik ini terjadi karena kurangnya minat sosial. Pendeknya, manusia mengalami kegagalan dalam hidupnya karena mereka terlalu memperhatikan diri mereka sendiri dan kurang memperhatikan orang lain.

2.8.1        Faktor Eksternal Penyebab Ketidakmampuan Menyesuaikan Diri
Mengapa ada orang-orang yang mengalami ketidakmampuan menyesuaikan diri? Adler (1964) menyebutkan tiga faktor penyebab, satu dari ketiganya cukup untuk menyebabkan munculnya ketidaknormalan : (1) kelemahan fisik yang berlebihan, (2) Gaya hidup manja, dan (3) gaya hidup terabaikan.

1.    Kelemahan fisik yang berlebihan
Kelemahan fisik yang berlebihan, baik itu faktor bawaan ataupun akibat kecelakaan maupun penyakit, tidak cukup untuk menyebabkan ketidakmampuan menyesuaikan diri. Hal ini harus disertai perasaan inferior yang menonjol. Perasaan subjektif ini mungkin timbul karena tubuh yang tidak sempurna, namun perasaan ini adalah hasil dari daya kreatif. Setiap orang lahir ke dunia dengan “dikaruniai” kelemahan fisik, dan kelemahan ini mengarah pada perasaan inferior. Orangorang dengan kelemahan fisik yang berlebihan terkadang membentuk perasaan inferior yangberlebihan karena mereka berusaha keras untuk melakukan kompensasi terhadap kelemahan mereka. Mereka cenderung menjadi terlalu peduli pada diri sendiri dan kurang mempertimbangkan keadaan orang lain.
2.    Gaya hidup manja
Gaya hidup manja kebanyakan ada dalam hidup orang-orang neurotik. Orang-orang yang manja memiliki minat sosial yang lemah, namun punya hasrat yang kuat untuk terus mempertahankan hubungan yang bersifat parasit, seperti hubungan yang mereka miliki sebelumnya dengansalah satu atau kedua orang tua mereka. Mereka mengharapkan orang lain untuk merawat, melindungi dan memuaskan kebutuhan mereka. Karakteristik yang menonjol dari mereka adalah putus asa yang berlebihan, kebimbangan, oversensitif, tidak sabar, dan emosi yang berlebihan, terutama kecemasan. Mereka memandang dunia dengan kecacatan pribadi dan meyakini bahwa mereka berhak untuk menjadi yang pertama dari segalanya.

3.    Gaya hidup terabaikan
Faktor eksternal ketiga yang menyebabkan ketidak mampuan menyesuaikan diri adalah pengabaian. Anak-anak yang merasa tidakdicintai dan tidak diinginkan akan membentuk gaya hidup yangterabaikan. Pengabaian adalah konsep relatif. Tidak ada orang yangmerasa benar-benar terabaikan atau tidak diinginkan. Kenyataan bahwa seorang anak bisa melewati masa bayi adalah bukti bahwa seseorang merawat anaknya dan bahwa benih minat sosial telah ditanam.Anak-anak yang disiksa dan diperlakukan tidak baik mempunyai minat sosial yang minim cenderung menciptakan gaya hidup yang terabaikan. Mereka hanya sedikit memiliki rasa percayadiri dan membuat perkiraan yang terlalu jauh yang berkaitan dengan masalah-masalah utama dalam hidup. Mereka tidak percaya pada orang lain dan tidak mampu bekerja sama untuk kebaikan bersama.Mereka melihat masyarakat sebagai musuh, merasa terasing dariorang lain, dan mengalami rasa iri yang kuat terhadap keberhasilan orang lain. Anak-anak yang terabaikan punya banyak karakteristik seperti anak-anak manja, tetapi secara umum mereka lebih mudah curiga dan memiliki kemungkinan lebih besar untuk membahayakan orang lain.

2.8.2        Kecenerungan untuk Melindungi
Adler percaa bahwa manusia menciptakan pola perilaku untuk melindungu perasaan berlebihan akan harga diri mereka terhadap rasa malu dimuka umum. Alat perlindungan ini, ang disebut kecenderungan untuk melindungi (safeguarding tendencies) membuat manusia mampu menyembunyikan cita diri mereka ang tinggi ( inflated self-image) dan mempertahankan gaa hidup yang merka jalan saat ini.
Konsep Adler mengenai kecenderungan untuk melindungi ini bisa dibandingkan dengan konsep freud tentang mekanisme pertahanan diri. Dasar dari keduanya adalah gagasan tentang gejala-gejala ang dibentuk sebagai perlindungan terhadap kecemasan. Akan tetapi, ada perbedaan penting diantara kedua konsep tersebut. Mekanisme pertahanan diri Freudian dilakukan secara tidak sadar untuk melindungi ego dari kecemasan, sedangkan kecenderungan untuk melindungi harga diri seseorang yang rapuh dari rasa malu dimuka umum. Selain itu, mekanisme pertahanan diri dari Freud adalah hal yang umum nya ada pada setiap orang, tetapi Adler (1956) mengaitkan kecenderungan untuk melindungi hanya dengan hal-hal ang bereknaan dengan konstruksi gejala-gejala neurotic. Membuat alasan, agresi, dan penarikan diri adalah tiga hal yang umunya terjadi akibat kecenderungan untuk melindungi. Masing-masing hal tersebut dibentuk untuk melindungi gaya hidup seseorang ang dijalaninya. Ada 3 kecenderungan melindungi diri secara umum yaitu :
1.    Berdalih (Excuses)
Tipikal berdalih terekspresikan dalam format “Ya, tetapi” atau “Jika saja”. Contohnya : “ Ya, saya ingin kuliah, tetapi anak-anak saya menuntut banyak perhatian.” “Jika saja suami saya lebih mendukung, karier saya tentu akan menanjak lebih cepat.” Dalih-dalih ini melindungi rasa percaya diri yang lemah, namun dibuat seolah-olah tinggi dan menipu orang lain untuk percaya bahwa diri mereka lebih unggul/superior daripada yang sebenarnya.


2.    Agresi
Beberapa orang melakukan agresi untuk melindungi kompleks keunggulan mereka yang berlebih-lebihan yaitu dengan melindungi rasa percaya diri mereka yang rapuh. Agresi bisa berbentuk :
1)        Penyombongan diri (depreciation) : kecenderungan untuk merendahkan keberhasilan orang lain dan melebih-lebihkan prestasinya sendiri.
2)        Pengkambing-hitaman (accusation) : kecenderungan untuk menyalahkan orang lain atas kegagalan dirinya dan berusaha mencari kesempatan untuk membalasnya agar dapat melindungi rasa percaya dirinya yang rapuh.
3)        Penuduhan-diri (self-accusation) : kecenderungan untuk merendahkan diri sendiri agar memunculkan penderitaan bagi orang lain sembari melindungi rasa percaya diri mereka yang yang lemah.

3.    Menarik Diri (Withdrawal)
Ada 4 model perlindungan lewat menarik diri yaitu :
1)   Mundur ke belakang (moving backward) : kecenderungan untuk melindungi tujuan keunggulan fiksional seseorang dengan mundur secara psikologis ke periode kehidupan yang lebih aman. Mundur kebelakang dirancang untuk meraih simpati, sikap menawarkan kebaikan namun esensinya merusak, khas perilaku anak-anak manja.
2)   Diam di tempat (standing still) : kecenderungan untuk diam di tempat tidak bergerak kea rah manapun untuk menghindari tanggung jawab apapun agar dapat melindungi diri dari ancaman kegagalan.
3)   Ragu-ragu (hesitating) : merasa tidak pasti ketika dihadapkan dengan masalah-masalah yang sulit.
4)   Menjadi Pengamat (constructing obstacle) : mereka melindungi harga diri dan prestise mereka, jika mereka gagal menaklukkan rintangan, mereka dapat selalu memiliki kesempatan untuk berdalih.


2.8.3        Maskulin Protest
Kehidupan psikis perempuan pada esensinya sama dengan laki-laki dan bahwa masyarakat yang didominasi laki-laki bukan sesuatu yang alamiah melainkan lebih merupakan produk artificial perkembangan sejarah.
Sejak dini laki-laki diajarkan menjadi maskulin berarti menjadi berani, kuat, dan dominant. Sebaliknya anak perempuan seringkali belajar menjadi pasif dan menerima posisi inferior di masyarakat. Beberapa perempuan yang memperjuangkan peran femininnya, mengembangkan orientasi maskulin tapi ada juga yang memilih mundur kepada keyakinan bahwa mereka memang manusia lemah, mengakui posisi laki-laki yang diistimewakan dengan mengalihkan tanggungjawab kepada mereka. Ini merupakan hasil dari pengaruh cultural dan social, bukannya dari perbedaan fisik yang inheren diantara kedua jenis kelamin tersebut.

2.9             Penerapan Psikologi Individual
Penerapan Psikologi Individual dibagi menjadi 4 area: 1. Konstelasi keluarga, 2. Ingatan masa kecil, 3. Mimpi, dan 4. Psikoterapi.
2.9.1 Konstelasi Keluarga
Ketika melakukan terapi, Adler hampir selalu bertanya kepada pasien tentang kontelasi keluarga mereka, yaitu urutan kelahiran, gender darri saudara kandung, dan umur yang terbentang di antara mereka. Walaupun persepsi seseorang terhadap situasi dimana mereka dilahirkan lebih penting daripada sekedar nomor urut, Adler tetap membuat hipotesis tentang urutan kelahiran.
            Anak sulung menurut Adler (1931), kemungkinan besar memiliki perasaan berkuasa dan superioritas yang kuat, kecemasan tinggi, serta kecenderungan untuk overprotektif (ingat bahwa Freud adalah anak sulung).
            Menurut Adler, anak kedua (seperti dirinya) memulai hidup dalam situasi yang lebih baik untuk membentuk kerja sama dan minat social. Sampai tingkat tertentu, kepribadian anak kedua dibentuk oleh persepsi mereka akan sikap anak sulung terhadap mereka. Jika sikap yang ditunjukan oleh anak sulung adalah permusuhn dan balas dendam yang berlebihan, maka anak kedua akan menjadi kompetetif dan berkecil hati.
            Anak bungsu, diyakini Adler, biasanya yang paling dimanja dan konsekuensinya, memiliki resiko tinggi menjadi anak yang bermasalah. Mereka sering memiliki perasaan inferior yang kuat dan kuang mandiri. Meskipun begitu, namun mereka juga memiliki semangat yang tinggi.
            Anak tunggal berada dalam posisi yang unik dalam hal daya saing, yaitu tidak beraing dengan saudar-saudarany, namun terhadap ayah dan ibunya. Adler dalam buku Fiest and Fiest menyatakan bahwa bias saja anak tunggal kurang memiliki sifat kerja sama dan minat social, bersikap parasit, serta mengharapkan orang lain untuk memanjakan dan melindungi mereka.

2.9.2 Ingatan Masa Kecil
            Adler (fiest and fiest.2010:103) menegaskan bahwa ingatan masa kecil selalu konsisten dengan gaya hidup seseorang pada saat ini, dan laporan subyektif mereka akan pengalaman-pengalaman ini menghasilkan pemahaman tentang tujuan akhir dan gaya hidup mereka saat ini. Salah satu ingatan masa kecil Adler adalah  perbedaan menyolok antara kesehatan yang baik yang dimiliki kakanya, Sigmund dan keadaan sakit-sakitan yang dialami Adler.
Salah satu ingatan masa kecilku adalah duduk di pantai…penuh balutan  karena penyakit rakhitis, dan kakaku yang sehat duduk didepanku. Ia berlari, melompat, dan bergerak ke sana ke mari dengan mudahnya, sedangkan untukku bergerak sedikit saja harus bersusah payah… semua orang berusaha menolongku
(fiest and fiest, 2010, hlm.103)
            Jika asumsi Adler bahwa ingatan masa kecil merupakan indicator yang valid untuk mengetahui gaya hidup seseorang, maka cerita ini bias menghasilkan petunjuk tentang gaya hidup Adler ketika ia dewasa. Pertama, cerita ini memberitahu kita bahwa Adler pasti memandang dirinya sebagai orang yang lemah, bersaing dengan gagaah berani melawan musuh yang kuat. Akan tetapi, ingatan masa kecil ini menunjukan bahwa ia mendapatkan pertolongan dari orang lain. Menerima pertolongan dari orang lain akan memberikan Adler rasa percaya diri untuk bersaing menghadapi saingan yang kuat. Rasa percaya diri ini digabung dengan sikap kompetitif akan terbawa padda hubunganya dengan Sigmund Freud sehingga membuat hubungan di antara keduanya lemah sejak awal.

2.9.3 Mimpi
Walaupun mimpi tidak bisa diramalkan masa depan, mimpi bias meberikan petunjuk untuk mengatasi masalah di masa depan. Namundemikian, orang yang bermimpi tidak ingin mengatasi masalahnya dengan cara yang produktif. Adler (1956) melaporkan mimpi seoran pria berusia 35 tahun yang sedang mempertimbangkan untuk menikah. Dalam mimpinya, pria tersebut “menyebrangi perbatasan antara Austria dan Hungaria, dan  mereka ingin memenjarakanya”. Adler mengintrepetasikan mimpi ini bahwa si pemimpi ingin berdiam diri karena ia akan kalah bila terus maju. Dengan kata lain, pria tersebut ingin mebatasi aktivitasnya dan tidak punya keinginan untuk mengubah statusnya.
            Adler juga menyatakan Gaya hidup juga terekspresikan dalam mimpi. Adler menolak pandangan freud bahwa mimpi adalah ekspresi keinginan masa kecil. Menurut Adler, mimpi bukan pemuas keinginan yang tidak di terima ego tetapi bagian dari usaha si pemimpi untuk memecahkan masalah yang tidak disenanginya atau masalah yang tidak dapat dikuasainya ketika sadar
Jadi, bagi Adler mimpi adalah usaha dari ketidaksadaran untuk menciptakan suasana hati atau keadaan emosional sesudah bangun nanti, yang bisa memaksa si pemimpi melakukan kegiatan yang semula tidak dikerjakan.

2.9.4 Psikoterapi
Teori Adrelian memberikan dalil bahwa psikoterapi berasal dari kurangnya keberanian, perasaan inferior yang berlebihan, dan minat social yang berkurang berkembangnya. Jadi, tujuan utama psikoterpi Adlerian adalah untuk meningkatkan keberanian, memperkecil perasaan inferior, dan menumbuhkan minat social. Akan tetapi, tugas ini tidak mudah karena  pasien berusaha  untuk bertahan pada pandangan terhadap diri mereka sendiri yang sudah menetap dan nyaman. Untuk mengatasi penolakan terhadap perubahan. Adler terkadang akan bertanya pada pasien, “Apa yang akan Anda lakukan kalau saya bias menyembuhkan Anda dengan segera?” Pertanyaa seperti itu biasanya mendorong pasien untuk mempelajari tujuan-tujuan hidup mereka dan melihat bahwa mereka sendiri yang bertanggung jawab terhadap penderitaan mereka.

2.10 Evaluasi
Kelebihan dan kekurangan teori ini
2.10.1    Kelebihan
1)        Keyakinan yang optimistis bahwa setiap orang dapat berubah untuk mencapai sesuatu ke arah evolus manusia bersifat positif
2)        Penekanan hubungan konseling sebagai suatu media untuk mengubah klien
3)        Menekan bahwa masyarakat tidak sakit atau salah akan tetapi manusianya yang sakit atau salah.
4)        Menekan bahwa kekuatan sebagai pusat pendorong prilaku
5)        Gagasan ini banyakmempengaruhi pendekatan – pendekatan lain
6)        Berorientasi humanistic
7)        Tingkah lakunya berarah tujuan
8)        Lebih menekankan pada asepek – aspek psikologis sosial
9)        Dasarnya dirancang dalam latar belakang kelompok
10)    Konsep – konsep dasar dan prosedur serta terapnya mudah diikuti
11)    Modelnya dibangun dengan lebih memperdulikan kesesuaiannya untuk menangani orang – orang normal yang bermasalah dari pada terhadap orang – orang yang menderita psikosa.

2.10.2 Kelemahan
1)      Terlalu banyak menekankanpada tilikan intelektual dalam upaya perubahan
2)      Penekanan yang berlebihan pada pengalaman nilai, minat subjektif sebagai penentu prilaku
3)      Meminimalkan factor biologis dan riwayat masa lalu
4)      Terlalu banyak  menekan kan tanggung jawab pada ketrampilan diagnostik konselor
5)      Dari segi presesi kemungkinan untuk di tes dan validitas empiriknya pada pendekatan ini lemah (kurang teliti)
6)      Ada kecenderungan untuk menyederhanakan secara berlebihan terhadap beberapa masalah manusia yang kompleks  


^_^ Jika ingin mengunduh file ini klik disini














0 komentar:

Posting Komentar

Mulutmu Harimaumu,...
so, jaga perkataannya yaa... karena tutur kata itu mencerminkan kepribadaian ^_^

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | GreenGeeks Review